Friday, November 29, 2013

Dia yang bernama Seri.

                      




      Sosok perempuan dalam remang. Duduk di bawah pohon jati meranggas,di tepi kandang, dalam samar senja yang menjelang. Terlihat sedang menimang sesuatu. Termenung. Seakan menggembala lamun.
Entah..hati ini masih ragu, apakah aku mengenalnya.
     “Hei! Siapa kamu?”
Panggilanku tak berbalas. Bahkan masih saja dia terus membelakangiku mengundang penasaran. Kucoba mendekat. Meski sesungguhnya aku lelaki yang sedang dilanda gemetar.
Baru beberapa langkah berjalan, sontak! dia menoleh kepadaku.
Huhh…ternyata ia wajah yang telah kukenal. Padahal hampir saja copot jantungku.
Tapi kenapa ia sedang menimang seorang bayi?.  Lalu anak siapa itu?.
Karena setahuku, di kampung ini tidak ada orang yang baru melahirkan.
Namun sebelum aku sempat bertanya, ia segera berpaling. Tatap matanya kosong menuju barat, kearah matahari yang tadi pamit pulang,di seberang hamparan sawah,terhalang tumpuk jerami sisa panen.


    Saat aku telah berdiri di sampingnya, serta bertanya tentang bayi siapa yang ditimangnya,dia diam. Lalu kubilang, hari sudah maghrib, tak baik jika terus duduk di sini. Apalagi bersama seorang bayi kecil yang mungkin baru beberapa waktu umurnya. Tapi yang kudapat hanyalah raut wajah asyik mengunci bibir, dengan sesekali tersenyum hambar dalam pucat, tangannya pula berusaha membendung genang air mata.
   “Kami harus pergi” desahnya lemah tanpa menoleh lagi padaku.
Dalam runduk, tangan kirinya mengelus lembut pipi bayi yang masih memerah, sedangkan tangan kanannya mengikut tarian ranting melukisi tanah. Membentuk garis-garis abstrak yang tak begitu terlihat. Tapi aku yakin, dia sedang melukis dengan warna bimbang dan gelisah.

   Seketika ia berdiri sambil menatapku tajam. Lalu nanar pandangnya beralih dan terpaku kearah rumah di depan kandang (rumahnya). Sekilas terlihat sayu, sebentar seperti sedih, selanjutnya seakan marah. Seolah olah dia ingin melontarkan sebaris ketidak puasan, keterpaksaan, keputus asaan.
   “Katakan pada keluargaku".
   " Sampaikan pada suami dan anakku”
   “Kami harus pergi”

Itu saja kata yang kudengar, sebelum dia melangkah ke utara dan hilang di balik remang kegelapan.

   Justru 
kini benakku yang  berkecamuk.
Menafsir segala yang baru saja kulihat dan kudengar. Mencari jawaban dari semua pertanyaan yang belum juga terjawab.
Di tengah kusyuk berfikir…(tiba tiba ada sesuatu yang terus menerus jatuh di kepalaku). Sigap mataku terbeliak. Aku tersadar,dan lantas menghindarinya. Kuusap dahiku yang basah seraya mendongak.
  "O
h… rupanya aku bermimpi",gumamku sambil menadah air yang menetes dari genting agar tak lagi membasahiku.
Kusapukan pandangan ke setiap sudut ruang. Telusuri hamparan tikar yang belum digulung, meja kursi yang belum dirapikan, usai acara tangis perpisahan.Kutatap insan yang terbaring begitu lemah di sampingku, hingga membuat hatiku sungguh pilu. Pabila membayangkan beban kesedihan wajah lelaki yang tidur resah, yang tangannya memeluk seorang anak usia tujuh bulan yang kini telah piatu.
Di luar hujan belum mau berhenti. Sedangkan malam sudah beranjak ke tepi.Bahkan derasnya seakan mengajakku, mengingat kembali mimpi yang lewat tadi.
Tentang dia yang bernama Seri.

 Seri perempuan malang.
 Perempuan yang tersudutkan.
 Perempuan yang lalu berputus asa.
 Yang sore tadi ditemukan gantung diri bersama janin tiga bulan di rahimnya.


...............................................................
Lonk's copyrighted. 291113.


0 apresiasi sahabat:

Post a Comment

Kritik dan saran amatlah diharapkan.
Salam hormat & happy blogging.

BERBAGI DAN SALING BELAJAR