.jpg)
Untuk isteri yang menanti
Saat kau terima sepucuk surat yang kutitipkan pada sahabat, bukan ingin hatiku menambah luka sekian lama, kian tergurat. Tapi aku hendak mengusung salah, lalu berharap kau meleburnya dengan ampunmu yang seribu tabah. Karena lidah kelukupun jujur saja tak sanggup lagi berbicara.
Lima tahun tanpa jeda, aku hilang tiada berita.
Meninggalkan telatah mungil si buah hati, damai kampung, sawah ladang, bahkan juga hutang yang merata rata.
Tentu kau selalu bertanya, dimana bukti tanggung jawabku.
Sungguh, siapa sangka akan jadi begini dik…
Memang khilaf ada pada diriku. Mimpi-mimpi yang ditabur telah membuatku hancur. Lalu kecewa,merana dan hanya bisa berangan tentang ‘seandainya’:
- Seandainya, dahulu aku menuruti keinginanmu, bersyukur apa yang ada, pasti saat ini sedang kutatap lekat ayu wajah yang tak henti kusanjungi. Pagi bercengkerama di beranda, ikhlas kau seduh kopi, sembari melihat ‘peri kecil’ kita sedang belajar berjalan.
Aku suami, masih berpegang janji…
Setulusnya, padamu hendak kukabarkan gejolak rindu tak tergambar di sisi nyeri.
Dik…
Kumohon do’amu, kuyakin setiamu.
Percayalah…
Aku segera pulang.
…………………………………………………………………………………
Lonk.150912244.